Shaum Ramadhan dan Hari Raya Bersama Penguasa, Syi’ar Kebersamaan Umat Islam
Taat kepada pemerintah dalam perkara kebaikan. Inilah salah satu
prinsip agama yang kini telah banyak dilupakan dan ditinggalkan umat.
Yang kini banyak dilakukan justru berupaya mencari keburukan pemerintah
sebanyak-banyaknya untuk kemudian disebarkan ke masyarakat. Akibat buruk
dari ditinggalkannya prinsip ini sudah banyak kita rasakan. Satu di
antaranya adalah munculnya perpecahan di kalangan umat Islam saat
menentukan awal Ramadhan atau Hari Raya.
Bulan suci Ramadhan merupakan bulan istimewa bagi umat Islam.
Hari-harinya diliputi suasana ibadah; shaum, shalat tarawih, bacaan
Al-Qur`an, dan sebagainya. Sebuah fenomena yang tak didapati di
bulan-bulan selainnya. Tak ayal, bila kedatangannya menjadi dambaan, dan
kepergiannya meninggalkan kesan yang mendalam. Tak kalah istimewanya,
ternyata bulan suci Ramadhan juga sebagai salah satu syi’ar kebersamaan
umat Islam. Secara bersama-sama mereka melakukan shaum Ramadhan; dengan
menahan diri dari rasa lapar, dahaga dan dorongan hawa nafsu sejak
terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, serta mengisi
malam-malamnya dengan shalat tarawih dan berbagai macam ibadah lainnya.
Tak hanya kita umat Islam di Indonesia yang merasakannya. Bahkan seluruh
umat Islam di penjuru dunia pun turut merasakan dan memilikinya.
Namun syi’ar kebersamaan itu kian hari semakin pudar, manakala
elemen-elemen umat Islam di banyak negeri saling berlomba merumuskan
keputusan yang berbeda dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan.
Keputusan itu terkadang atas nama ormas, terkadang atas nama parpol, dan
terkadang pula atas nama pribadi. Masing-masing mengklaim, keputusannya
yang paling benar. Tak pelak, shaum Ramadhan yang merupakan syi’ar
kebersamaan itu (kerap kali) diawali dan diakhiri dengan fenomena
perpecahan di tubuh umat Islam sendiri. Tentunya, ini merupakan fenomena
menyedihkan bagi siapa pun yang mengidamkan persatuan umat.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin anda akan berkata: “Itu karena
adanya perbedaan pendapat di antara elemen umat Islam, apakah awal masuk
dan keluarnya bulan Ramadhan itu ditentukan oleh ru`yatul hilal
(melihat hilal) ataukah dengan ilmu hisab?”. Bisa juga anda mengatakan:
“Karena adanya perbedaan pendapat, apakah di dunia ini hanya berlaku
satu mathla’ (tempat keluarnya hilal) ataukah masing-masing negeri
mempunyai mathla’ sendiri-sendiri?”
Bila kita mau jujur soal penyebab pudarnya syi’ar kebersamaan itu,
lepas adanya realita perbedaan pendapat di atas, utamanya disebabkan
makin tenggelamnya salah satu prinsip penting agama Islam dari hati
sanubari umat Islam. Prinsip itu adalah memuliakan dan menaati penguasa
(pemerintah) umat Islam dalam hal yang ma’ruf (kebaikan).
Mungkin timbul tanda tanya: “Apa hubungannya antara ketaatan terhadap penguasa dengan pelaksanaan shaum Ramadhan?”
Layak dicatat, hubungan antara keduanya sangat erat. Hal itu karena:
1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam, dan suatu
kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan
terhadap penguasa.
2. Penentuan pelaksanaan shaum Ramadhan merupakan perkara yang ma’ruf
(kebaikan) dan bukan kemaksiatan. Sehingga menaati penguasa dalam hal
ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam. Terlebih
ketika penentuannya setelah melalui sekian proses, dari pengerahan tim
ru‘yatul hilal di sejumlah titik di negerinya hingga digelarnya
sidang-sidang istimewa.
3. Realita juga membuktikan, dengan menaati keputusan penguasa dalam
hal pelaksanaan shaum Ramadhan dan penentuan hari raya ‘Idul Fithri,
benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya,
ketika umat Islam berseberangan dengan penguasanya, perpecahan di tubuh
mereka pun sangat mencolok. Maka dari itu, menaati penguasa dalam hal
ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam.
Mungkin ada yang bertanya, “Adakah untaian fatwa dari para ulama
seputar permasalahan ini?” Maka jawabnya ada, sebagaimana berikut ini:
Fatwa Para Ulama Seputar Shaum Ramadhan Bersama Penguasa
-Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum
bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca
cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah Subhanahu wa
Ta’ala bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah juz 25, hal. 117)
-Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits
ini1 dengan ucapan (mereka): ‘Sesungguhnya shaum dan berbukanya itu
(dilaksanakan) bersama Al-Jama’ah dan mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul
Ahwadzi juz 2, hal. 37. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2,
hal. 443)
-Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang jelas, makna hadits ini
adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan
shaum Ramadhan, berbuka puasa/Iedul Fithri dan Iedul Adha, -pen.)
keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka
untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini
dikembalikan kepada penguasa dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini,
setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat
Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan
sabit) namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk
tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti
mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Hasyiyah ‘ala Ibni Majah,
lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)
-Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata: “Dan
selama belum (terwujud) bersatunya negeri-negeri Islam di atas satu
mathla’ (dalam menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, -pen.), aku
berpendapat bahwa setiap warga negara hendaknya melaksanakan shaum
Ramadhan bersama negaranya (pemerintahnya) masing-masing dan tidak
bercerai-berai dalam perkara ini, yakni shaum bersama pemerintah dan
sebagian lainnya shaum bersama negara lain, baik mendahului
pemerintahnya atau pun belakangan. Karena yang demikian itu dapat
mempertajam perselisihan di tengah masyarakat muslim sendiri.
Sebagaimana yang terjadi di sebagian negara Arab sejak beberapa tahun
yang lalu. Wallahul Musta’an.” (Tamamul Minnah hal. 398)
-Beliau juga berkata: “Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang
toleran, yang di antara misinya adalah mempersatukan umat manusia,
menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat
pribadi yang memicu perpecahan. Syariat ini tidak mengakui pendapat
pribadi –meski menurut yang bersangkutan benar– dalam ibadah yang
bersifat kebersamaan seperti; shaum, Ied, dan shalat berjamaah. Tidakkah
engkau melihat bahwa sebagian shahabat radhiallahu ‘anhum shalat
bermakmum di belakang shahabat lainnya, padahal sebagian mereka ada yang
berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya
darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu, sementara yang lainnya tidak
berpendapat demikian?! Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna
(4 rakaat) dalam safar dan di antara mereka pula ada yang mengqasharnya
(2 rakaat). Namun perbedaan itu tidaklah menghalangi mereka untuk
melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam (walaupun berbeda
pendapat dengannya, -pen.) dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut
sah. Hal itu karena adanya pengetahuan mereka bahwa bercerai-berai dalam
urusan agama lebih buruk daripada sekedar berbeda pendapat. Bahkan
sebagian mereka mendahulukan pendapat penguasa daripada pendapat
pribadinya pada momen berkumpulnya manusia seperti di Mina. Hal itu
semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan)
bila dia tetap mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh
Al-Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan
radhiallahu ‘anhu shalat di Mina 4 rakaat (Zhuhur, ‘Ashar, dan Isya’
-pen). Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu
mengingkarinya seraya berkata: “Aku telah shalat (di Mina/hari-hari
haji, -pen.) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar
dan di awal pemerintahan ‘Utsman 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman
shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan di antara kalian
(sebagian shalat 4 rakaat dan sebagian lagi 2 rakaat, -pen.), dan
harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat
darinya.”
Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4
rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari
‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, (mengapa) kemudian engkau shalat 4
rakaat pula?!” Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.”
Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti
riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhu.
Maka dari itu, hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan
bahan renungan oleh orang-orang yang (hobi, -pen.) berpecah-belah dalam
urusan shalat mereka serta tidak mau bermakmum kepada sebagian imam
masjid, khususnya shalat witir di bulan Ramadhan dengan dalih beda
madzhab. Demikian pula orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri,
baik mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun mengakhirkannya dengan
dalih mengerti ilmu falaq, tanpa peduli harus berseberangan dengan
mayoritas kaum muslimin. Hendaknya mereka semua mau merenungkan ilmu
yang telah kami sampaikan ini. Dan semoga ini bisa menjadi obat bagi
kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Dengan harapan agar
mereka selalu dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum
muslimin, karena tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-Jama’ah.”
(Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 444-445)
-Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu pernah
ditanya: “Jika awal masuknya bulan Ramadhan telah diumumkan di salah
satu negeri Islam semisal kerajaan Saudi Arabia, namun di negeri kami
belum diumumkan, bagaimanakah hukumnya? Apakah kami bershaum bersama
kerajaan Saudi Arabia ataukah bershaum dan berbuka bersama penduduk
negeri kami, manakala ada pengumuman? Demikian pula halnya dengan
masuknya Iedul Fithri, apa yang harus kami lakukan bila terjadi
perbedaan antara negeri kami dengan negeri yang lainnya? Semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala membalas engkau dengan kebaikan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar